TENTANG KAMI

SENJAKALA TEATER MALANG


LENSA TEATER - Kurang lebih dua puluhan tahun yang lalu, Kota Malang menjadi salah satu barometer teater di Indonesia. Iklim produksi pertunjukan teater di Malang begitu produktif dan karya-karya yang disajikan begitu bernas. Teman-teman yang menggeluti dunia teater di Malang pasti pernah mendengar kisah masa keemasan tersebut. Bahkan mungkin teman-teman juga kerap mendengar berbagai komunitas atau sanggar teater yang merasa segan untuk pentas di Malang. Sebab setiap pertunjukan yang disajikan harus dipertanggung jawabkan di hadapan forum sarasehan yang begitu kritis dan tajam.

Suasana semacam itulah yang kiranya menunjang dinamika teater di Malang. Suasana kompetitif dalam menyajikan karya terbaik menjadi semangat menjalani proses yang tidak singkat. Dasar penciptaan dan penggalian keilmuan menjadi bekal yang harus dimiliki setiap pegiat teater. Kedalaman isi dan keindahan pertunjukan harus bisa mengantar sebuah pesan yang hendak disampaikan. Kaidah logika-etika-estetika menjadi satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan.

Iklim semacam itu setidaknya diprakarsai oleh Dr. Hazim Amir. Seorang seniman dan budayawan Malang yang juga turut menggawangi berdirinya Dewan Kesenian Malang. Dalam biografi singkat beliau yang tertulis di buku antologi sajak- sajak kelabu tercatat bahwa beliau telah membina teater kecil sejak tahun 1964 sampai tahun 1967, menjadi pengurus Dewan Kesenian Surabaya pada tahun 1972-1974. Kemudian bersama beberapa sahabat-sahabatnya beliau merintis berdirinya Dewan Kesenian Malang. Pada tahun 1980 beliau bersama sahabat-sahabatnya mendirikan Teater Mlarat. Dari Mbah Hazim—kami memanggil beliau—dan anak didik beliau kemudian lahir berbagai komunitas atau sanggar teater di Malang Raya. Sebagai seorang seniman dan budayawan, beliau adalah salah satu perintis pertumbuhan dan penggemblengan teater di Malang Raya.

Sekian lama setelah kepergian beliau keharibaanNya, iklim pertunjukan teater di Malang menjadi tak segairah dulu. Bahkan dengan pertumbuhan komunitas atau sanggar teater yang begitu pesat pun tak mampu membendung lesu. Kondisi seperti ini seolah menjadi sebuah ironi. Ketika banyak komunitas atau sanggar teater yang lahir dan memproduksi pertunjukan-pertunjukan nyatanya tak mampu membangun kembali masa keemasan yang dulu pernah dicapai hanya dengan hadirnya beberapa komunitas atau sanggar teater di Malang Raya. Lebih-lebih, ironi itu begitu terasa ketika banyak generasi muda teater di Malang Raya hampir tak mengenal sosok Mbah Hazim yang memiliki andil besar dalam kancah teater di Malang Raya.

Kegelisahan semacam itulah yang ditangkap oleh beberapa orang kemudian diwujudkan menjadi sebuah peristiwa Haul Mbah Hazim Amir. Kegiatan yang diadakan untuk memperkenalkan beliau ke khalayak muda teater Malang. Kiranya dengan begitu teman-teman muda dapat mengenal dan meneladani beliau sebagai salah satu tokoh yang begitu berjasa dalam kancah teater di Malang Raya.


Kegiatan yang dimulai dengan rangkaian lomba baca puisi karya Mbah Hazim beberapa waktu sebelumnya hingga tahlil, peresmian Pendopo Hazim Amir hingga sarasehan singkat membincang sepak terjang Mbah Hazim tersebut nyatanya tidak hanya memekarkan kelegaan. Justru kegelisahan-kegelisahan yang bergulung bagai bola salju yang kian bergulung kian besar kegelisahan terkumpul.

Pasalnya kegiatan yang ditujukan untuk mendekatkan sosok Mbah Hazim dan kiprahnya pada generasi muda teater Malang Raya itu justru dihadiri oleh kalangan senior yang rata-rata keluarga, sahabat dan anak didik beliau. Atau setidaknya mereka yang mempunyai susur galur keilmuan yang bermuara pada Mbah Hazim. Mereka datang untuk menghormat pada sosok guru dan sahabat yang punya peran begitu penting dalam pertumbuhan teater di Malang Raya.

Generasi muda yang sedianya disasar dalam kegiatan itu, tak banyak yang datang. Padahal kegiatan itu ditujukan untuk mereka. Selain itu muncul juga beberapa kegelisahan berkaitan dengan keberadaan komunitas atau sanggar teater yang begitu banyak di Malang Raya, baik itu teater sekolah, kampus, maupun independen, namun belum ada suatu lembaga atau organisasi yang mewadahinya dalam satu ruang kreatif dan dinamis. Komunitas atau sanggar yang ada bergerak masing-masing. Kalau pun ada, beberapa komunitas atau sanggar berjejaring dengan satu dua dan beberapa komunitas dekat mereka.

Kegelisahan-kegelisahan yang terus bergulung membesar itu kemudian pecah menjadi gagasan untuk menjembatani terjadinya jejaring komunitas atau sanggar teater di Malang Raya yang lebih luas. Kemudian lahirlah Foto Teater sebagai media berjejaring dan dokumentasi pertunjukan.

Sambutan hangat berupa kritik dan saran masuk ke meja Foto Teater. Atas beberapa pertimbangan kemudian Foto Teater mentransformasi diri menjadi Lensa Teater yang membuka ruang kerja lebih lebar menjadi media sosialisasi, publikasi dan dokumentasi baik visual-grafis maupun tulis. Menimbang tradisi dokumentasi tulis atas peristiwa pertunjukan di atas panggung belum begitu kuat di Malang Raya.

Harapan agar tercipta jejaring komunikasi yang baik antar komunitas atau sanggar teater di malang hingga setidaknya langkah ini menjadi satu dari sekian geliat kegelisahan yang ingin memajukan kancah teater di Malang Raya menjadi spirit yang melandasi aktifitas-aktifitas Lensa Teater.

Akhirnya, semoga niatan baik di atas bersambut dengan kebaikan-kebaikan yang nyata.

Malang, 07 Agustus 2016